:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/4593582/original/022195200_1696058294-IMG_1147.jpeg)
Liputan6.com, Jakarta Ketua DPP PDIP Puan Maharani mengatakan partainya masih mengkaji putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutus penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan.
“Kita masih kaji hal tersebut, apakah kemudian ada hal yang dilanggar sesuai dengan Undang-Undang Dasar. Karena pemilu sesuai dengan Undang-Undang Dasar sudah lima tahun sekali,” kata Puan Maharani kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (3/7/2025).
“Semua partai kami juga pimpinan terdiri dari partai-partai politik masih mengkaji. Dan tentu saja karena keputusan ini memberikan efek kepada semua partai,” sambungnya.
Partai pimpinan Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri itu akan lebih dulu melakukan rapat koordinasi untuk menyikapi putusan MK tersebut.
“Sebagai partai politik, kami nanti akan melakukan rapat koordinasi. Apakah itu secara formal ataupun secara informal untuk sama-sama berbicara, bersama untuk menyatakan pendapat kami. Bersama-sama terkait dengan putusan MK ini,” kata politikus PDIP itu.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan.
Pemilu nasional meliputi pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sedangkan pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.
“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis.
Dalam hal ini, MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diwakili oleh Ketua Pengurus Yayasan Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati dan Bendahara Pengurus Yayasan Perludem Irmalidarti.
Secara lebih rinci, MK menyatakan Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai menjadi:
“Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan presiden/wakil presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional.”
Mahkamah Konstitusi RI memutuskan untuk memisahkan pelaksanaan pemilihan umum nasional dan daerah mulai 2029. MK menilai pemilu serentak membuat masyarakat jenuh dan tidak fokus.
Pemerintah Bentuk Tim Kaji Putusan MK soal Pemilu Nasional dan Daerah Terpisah
… Selengkapnya
Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi mengatakan pemerintah membentuk tim untuk mengkaji putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilhan umum (pemilu) nasional dan daerah. Menurut Prasetyo, putusan MK tersebut membawa implikasi yang harus dianalisis secara matang.
“Kami (Kemensetneg), saya dan Kementerian Dalam Negeri selama ini yang memang membawahi masalah kepemiluan ya. Kemudian dengan teman-teman di Kementerian Hukum, kami membuat satu tim untuk mengkaji sebuah putusan Mahkamah Konstitusi yang baru kemarin itu,” jelas Prasetyo di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma Jakarta, Selasa (1/7/2025).
“Karena putusan (MK) itu kan membawa implikasi yang memang harus kita pikirkan. Tidak sekedar secara legal formal amar keputusannya, tetapi akibat dari amar putusan itu kan secara teknis nanyak sekali yang harus kita analisa,” sambungnya.
Prasetyo menyampaikan pemerintah membutuhkan waktu untuk mengkaji dan menganalisa putusan MK soal pemisahan pemilu. Setelah itu, kata Prasetyo, tim akan meminta petunjuk dari Presiden Prabowo Subianto untuk sikap selanjutnya.
“Kemudian tentunya nanti beri kami waktu kami akan minta petunjuk dari Bapak Presiden. Kalau hasil analisa dari kementerian sudah selesai. Pada waktunya nanti pasti akan kami sampaikan,” kata Prasetyo.
Prasetyo menyampaikan pemerintah sebetulnya sedang fokus dan semangat bekerja. Meski begitu, dia memastikan pemerintah tetap meghormati keputusan MK soal pemilu nasional dan daerah digelar tidak serentak.
“Tapi kami menghormati dan tentu pemerintah tidak akan tinggal diam, dalam artian kita akan menganalisa hasil keputusan MK,” tutur Prasetyo.
Tolak Putusan Pemisahan Pemilu, Nasdem: MK Curi Kedaulatan Rakyat
… Selengkapnya
Partai Nasdem menolak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilihan umum (pemilu) serentak. Nasdem mengatakan, MK sedang melalukan pencurian kedaulatan rakyat melalui putusan tersebut.
“Dengan keputusan ini, MK sedang melakukan pencurian kedaulatan rakyat,” kata Anggota Majelis Tinggi Partai Nasdem Lestari Moerdijat dalam konferensi pers di Nasdem Tower Jakarta Pusat, Senin (30/6/2025).
Dia mengatakan, MK tak diberikan kewenangan mengubah norma dalam UUD 1945. Untuk itu, putusan MK terkait pemisahan pemilu serentak bertentangan dengan UUD 1945.
“Sehingga putusan MK terkait pergeseran pemilihan kepala daerah dan DPRD melampaui masa pemilihan 5 tahun adalah inkonstitusional bertentangan dengan pasal 22B UUD 1945,” ucap Lestari.
Lestari menyampaikan putusan MK tersebut dapat mengakibatkan krisis konstitusional, bahkan deadlock constitutional. Sebab, apabila putusan MK dilaksanakan justru dapat mengakibatkan pelanggaran konstitusi.
Dalam Pasal 22E UUD NRI 1945, disampaikan bahwa pemilu serentak dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Sementara dalam putusan MK, pemilu nasional dan daerah dilakukan terpisah dengan jeda waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan.
“Dengan demikian, ketika setelah 5 tahun periode DPRD tidak dilakukan pemilu DPRD maka terjadi pelanggaran konstitusional,” ujar Lestari.
Dia menilai MK mengambil kewenangan legislatif terkait open legal policy yang merupakan kewenangan DPR RI dan Presiden (Pemerintah). Lestari menyebut MK juga telah melanggar prinsip kepastian hukum yang seharusnya tidak mudah berubah dan harus konsisten.
“MK telah menjadi negative legislator sendiri yang bukan kewenangannya dalam sistem hukum yang demokratis dan tidak melakukan metode moral reading dalam menginterpretasi hukum dan konstitusi,” tutur Lestari.
Reporter: Nur Habibie
Sumber: Merdeka.com
… Selengkapnya