Uncategorized

UBOPLAY – Satgas Pemberantas Premanisme Resmi Dibentuk, Yakin Bakal Efektif?

Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) RI, Budi Gunawan.

Liputan6.com, Jakarta – Jenderal (Purn) Moeldoko merasa geram dengan tingkah polah ormas yang mengganggu dunia investasi. Mantan Panglima TNI itu menegaskan, gangguan ormas ini tak bisa ditolerir karena dapat mempengaruhi lapangan pekerjaan di Indonesia.

“Jadi siapa pun tidak boleh ganggu, makanya saya katakan kalau ada preman ganggu habisin saja. Karena preman ini akan mengganggu segitu banyak orang yang mencari pekerjaan,” ucap Ketua Umum Perkumpulan Industri Kendaraan Listrik Indonesia (Periklindo) ini di JiExpo Kemayoran, Jakarta Pusat, Selasa 29 April 2025 lalu.

Gangguan ormas pada investasi otomotif dialami dua produsen baru, BYD dan Vinfast. Kedua merek itu memperoleh gangguan kala membangun pabrik perakitan mobil listrik di Subang, Jawa Barat.

BYD mendirikan pabrik di kawasan Subang Smartpolitan, Subang, Jawa Barat dengan nilai investasi Rp11,7 triliun. Perusahaan meyakini fasilitas manufaktur itu siap beroperasi 2026. Sementara Vinfast juga telah memulai pembangunan pabrik di Subang dengan dana tahap awal sebesar US$200 juta atau Rp3,2 triliun sejak 2024.

Merespons situasi ini, Kemenko Polkam menggelar rapat koordinasi lintas kementerian, Selasa 6 Mei 2025. Pertemuan membahas tentang pembentukan Satgas Terpadu Operasi Penanganan Premanisme dan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).

Rapat melibatkan lintas kementerian dan instansi yaitu Kementerian Sekretaris Negara, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Kepala BKPM, Kementerian Hukum, Kementerian Luar Negeri, Kementerian HAM, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Koperasi, UMKM, Kementerian Perdagangan, Kementerian ESDM, Kementerian BUMN, Kejaksaan Agung, TNI, Polri, Kantor Staf Kepresidenan, Kantor Komunikasi Kepresidenan, BIN, serta BSSN.

“Pemerintah menegaskan komitmen dalam menjaga stabilitas nasional dan kepastian hukum dengan membentuk Satgas Terpadu Operasi Penanganan Premanisme dan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang meresahkan masyarakat dan mengganggu investasi,” kata Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menko Polkam) Jenderal (Purn) Budi Gunawan, Rabu 7 Mei 2025.

Budi menegaskan, pemerintah tidak akan ragu-ragu dalam menindak tegas segala bentuk premanisme dan aktivitas ormas yang meresahkan masyarakat. Gangguan ini berpotensi mengganggu jalannya investasi maupun kegiatan usaha.

Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Arthur Josias Simon Runturambi mengapresiasi pembentukan tim terpadu untuk menanggulangi aksi premanisme. Namun, ia mengingatkan pentingnya kejelasan definisi dan target dari operasi tim tersebut agar tidak menimbulkan resistensi di masyarakat.

“Saya sih mengapresiasi dulu ya. Ada tim terpadu yang melibatkan banyak pihak. Harapannya tentu bisa mengurangi aksi-aksi premanisme yang meresahkan, terutama yang mengganggu investasi,” ujar Simon dalam keterangannya, Rabu (7/5/2025).

Meski begitu, ia menyoroti perlunya penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan premanisme agar tidak terjadi salah sasaran di lapangan. Menurutnya, premanisme memiliki bentuk yang beragam, mulai dari aksi jalanan hingga kejahatan yang lebih terorganisir.

“Pertama identifikasi dulu. Maksudnya premanisme ini apa? Kalau premanisme jalanan, itu kan sifatnya situasional. Tapi kalau yang saya maksud adalah bentuk organized crime, ini yang lebih bahaya,” tegasnya.

Simon menyebutkan, tidak sedikit organisasi yang berbadan hukum tetapi melakukan pelanggaran di bidang ekonomi maupun politik. Oleh karena itu, ia menilai perlu kejelasan jenis premanisme mana yang menjadi fokus tim terpadu tersebut.

“Tim ini harus menjelaskan kategori mana yang jadi target. Supaya masyarakat tidak bingung dan bisa ikut membantu. Kalau tidak jelas, malah bisa jadi bumerang,” katanya.

Ia juga mengingatkan adanya potensi resistensi dari organisasi kemasyarakatan (ormas) bila langkah tim tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Resistensi tersebut bisa datang bukan hanya dari ormas, tapi juga dari masyarakat jika tindakan yang diambil dirasa tidak adil.

“Kalau yang disebut-sebut ternyata berbeda dengan realitasnya, itu bisa timbul resistensi. Bahkan masyarakat bisa balik mendukung ormas. Ini harus diantisipasi sejak awal supaya tidak kontraproduktif,” ujarnya.

Selain soal sasaran, Simon juga menekankan pentingnya kewenangan dan daya tekan tim terpadu untuk memastikan lembaga terkait—baik di tingkat Polres maupun pemerintah daerah—melaksanakan tugasnya.

“Tim ini harus punya power. Misalnya, bisa mendorong Polres atau Pemkot untuk segera selesaikan kasus premanisme yang terjadi di wilayahnya. Bukan hanya struktur besar yang tak bergerak,” jelasnya.

Ia menduga aksi premanisme yang mengganggu investasi tidak terjadi secara kebetulan. Simon menduga ada kebocoran informasi atau kurangnya koordinasi antara pemerintah dan pihak investasi, sehingga memberi celah bagi pihak-pihak tertentu untuk mencari keuntungan.

“Jangan sampai informasi investasi bocor lewat jalur belakang, lalu jadi ajang cari cuan. Ini yang sangat merugikan. Satgas pemberantasan premanisme ini seharusnya juga bisa masuk ke lembaga-lembaga yang terkait investasi untuk mengamankan dari awal,” ungkapnya.

Terkait efektivitas satgas ini, Simon menyebut itu akan bergantung pada seberapa rinci tugas dan fungsi (tupoksi) yang dijelaskan kepada publik.

“Mereka harus bisa menjabarkan kembali tupoksi mereka. Jelaskan mana yang meresahkan, mana yang tidak, mana yang kasat mata. Klasifikasikan dulu. Baru bisa efektif,” tutupnya.

Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menilai pembentukan satgas ini sebagai langkah positif. Namun, ia mengingatkan bahwa fungsi pembinaan ormas sebenarnya sudah diatur di bawah kewenangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) di tingkat daerah.

“Ini langkah yang baik, tapi saya khawatir Satgas ini malah menimbulkan kerancuan. Ormas-ormas yang berbau premanisme bisa saja tidak lagi mengakui kewenangan Kesbangpol atau Kemendagri. Padahal pembinaan itu domain mereka,” ujar Trubus saat diwawancarai Liputan6.com, Rabu (7/5/2025).

Ia juga menekankan pentingnya kejelasan kriteria dalam membedakan ormas yang bersifat premanisme dan yang tidak. Jika tidak hati-hati, langkah penindakan berisiko menimbulkan diskriminasi.

“Kita kan juga kriteriannya harus jelas, jangan kemudian nanti ada diskriminatif, kan. Ada yang merasa diperlakukan seperti preman, padahal mereka tidak preman,” kata Trubus.

Trubus juga mengingatkan bahwa ormas di Indonesia sangat beragam, tidak hanya ormas politik, tetapi juga keagamaan. Jika pendekatan Satgas tidak tepat, dikhawatirkan bisa memicu ketegangan yang lebih luas, termasuk dengan ormas besar seperti Muhammadiyah atau Nahdlatul Ulama.

“Ya, karena itu juga harus dipikirkan, jangan sampai, karena Ormas itu kan tidak hanya Ormas ini. Ada juga Ormas keagamaan juga, tidak hanya Ormas politik,” ucap Trubus

“Itu kan nanti (bisa) melebar kemana-mana. Artinya, bisa menyinggung yang besar-besar kayak Muhammadiyah, PBNU, itu nanti jadi muncul ini lagi,” sambungnya

Ia  menyarankan agar pemerintah lebih fokus memperkuat lembaga yang selama ini memang memiliki kewenangan membina organisasi masyarakat, yakni Kesbangpol dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) atau juga Polri.

Trubus menegaskan, dengan ketidaktegasan pemerintah dalam menghadapi ormas dan kelompok premanisme yang meresahkan bukan semata soal kelemahan hukum, melainkan karena adanya keterkaitan antara sebagian ormas dengan elite kekuasaan.

Secara regulasi, kata dia, sebenarnya sudah ada dasar hukum yang kuat untuk menindak ormas bermasalah. Salah satunya tercantum dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan, khususnya Pasal 59

“Kalau lihat di Undang-Undang 16, mengenai Ormas. Pasal 59 itu sudah jelas di situ. (Bahwa) Ormas dilarang (untuk melakukan tindakan kekerasan). (Namun) jika dilanggar dikasih sanksinya itu harus sanksi yang tidak hanya administrasi,” jelas Trubus.

 

Ia juga menyoroti bahwa banyak ormas saat ini justru memiliki backing kuat dari partai politik atau elite kekuasaan. Karenanya, ada dugaan keterkaitan langsung antara sejumlah anggota parlemen dengan ormas-ormas bermasalah tersebut.

“Selama ini mereka dipelihara oleh elite itu untuk mempertahankan kekuasaannya, (agar nantinya) terpilih kembali ke depannya. Bahkan banyak juga diduga orang-orang yang duduk di parlemen, di DPR, DPRD misalnya,” kata Trubus.

Trubus juga menyoroti pentingnya penguatan sistem pengawasan terhadap organisasi kemasyarakatan (ormas), terutama dalam aspek keuangan. Ia menilai pengelolaan dana ormas perlu diaudit secara ketat mengingat banyak anggotanya yang berasal dari kalangan pengangguran dan rentan dimanfaatkan.

“Jadi, buka ke publik. Maksudnya, kita mulailah pendekatan yang namanya transparansi publik dan akuntabilitas publik. Bertanggung jawab publik itu seperti apa,” dia menandaskan.

 


2 dari 5 halaman

Misteri Petrus, Teror Penembak Misterius di Era Orde Baru

Menanggapi wacana pendekatan keamanan ala Orde Baru seperti Operasi Petrus, Trubus menilai kebijakan serupa tidak relevan jika diterapkan saat ini. Menurutnya, pendekatan kekerasan justru akan menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia dan kontraproduktif terhadap upaya penegakan hukum yang berkeadilan.

“Ya, enggak cocok, malah hanya menimbulkan pelanggaran HAM,” tegas Trubus.

Awal 1980-an menjadi babak kelam dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia. Masyarakat dikejutkan oleh penemuan mayat-mayat bertato di tempat umum, tanpa penjelasan resmi dari otoritas. Fenomena ini kemudian dikenal sebagai “Petrus”, singkatan dari penembak misterius, yang diyakini sebagai operasi rahasia negara untuk memberantas kejahatan jalanan.

Operasi Petrus pertama kali mencuat pada 1983, diinisiasi oleh Komandan Garnisun Yogyakarta saat itu, Letkol Mochamad Hasbi. Awalnya diklaim sebagai akibat perang antargeng, namun kemudian Panglima ABRI Jenderal L.B. Moerdani mengakui keterlibatan aparat keamanan. Ia menyatakan bahwa beberapa korban “ditembak karena melawan saat ditangkap”.

Walau tak pernah diumumkan secara resmi, Petrus disebut sebagai bentuk “terapi kejut” pemerintah untuk menekan tingkat kriminalitas yang tinggi. Dalam pelaksanaannya, aparat intelijen menyerahkan daftar tersangka kriminal kepada garnisun militer. Mereka yang namanya tercantum diberi ultimatum agar menyerahkan diri, mengisi formulir riwayat hidup, dan menandatangani pernyataan tidak akan mengulangi tindak kriminal.

Bagi yang tidak menyerahkan diri atau melanggar kesepakatan, aparat disebut langsung melakukan tindakan tegas. Banyak korban tewas ditemukan dengan luka tembak di kepala atau dada, menandakan eksekusi jarak dekat.

Keberadaan daftar hitam itu sendiri menjadi misteri dan memunculkan efek ketakutan luas di masyarakat. Tidak ada uang atau koneksi yang mampu menghapus nama dari daftar itu—jika memang daftar tersebut benar-benar ada.

Presiden Soeharto baru mengakui keterlibatan negara dalam operasi ini lewat biografinya Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya yang terbit pada 1988. Dalam buku itu, ia menulis bahwa tindakan kekerasan tersebut diperlukan karena “beberapa orang telah melampaui norma” dan “harus dilawan dengan kekuatan”.

Jumlah korban Petrus masih simpang siur hingga kini. Laporan resmi menyebutkan 300 mayat ditemukan pada 1983, tetapi kriminolog Mulyana W. Kusumah memperkirakan jumlahnya lebih dari 2.000 jiwa. Mantan Menlu Belanda, Hans van den Broek, bahkan menyebut angka sekitar 3.000 korban, sementara laporan lain memperkirakan hingga 10.000 korban tewas.

Meski aparat di akhir 1980-an mengklaim tidak lagi menggunakan metode serupa, warisan kekerasan Petrus masih menyisakan trauma dan tanda tanya besar bagi sejarah penegakan hukum Indonesia.

3 dari 5 halaman

TNI Kerahkan Intel Awasi Premanisme dan Ormas Bermasalah

Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Mayjen Yusri Nuryanto meyakini pembentukan satgas bertujuan untuk menjaga keamanan, kenyamanan masyarakat (kamtibmas). Nantinya, dari pihak TNI akan ada tim intelijen yang berkolaborasi dan bertukar informasi dengan tim dari Polri.

“Ya selalu kita bersama-sama dengan Polri untuk menjaga kamtibmas. Kita memang ada fungsi disini adalah litpamvit. Ini adalah intelijen dimana kita selalu berkolaborasi bekerjasama dengan intelijen-intelijen yang lain,” kata Yusri usai rapat koordinasi teknis Puspom TNI di Kompleks Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu (7/5/2025).

Selain dengan Polri, Yusri menyatakan kerja sama informasi juga bisa dilakukan dengan tim dari BIN dan BAIS yang tujuannya mencegah hal-hil tidak diinginkan dari tindakan premanisme dan ormas meresahkan.

“Ini ya informasi-informasi yang ada lah. Jadi kita combine, kita analisa untuk dilakukan pencegahan-pencegahan.

“Nah tentunya terkait dengan kalau memang di Ormas itu ada mereka tentunya orang sipil ya nanti yang menangani adalah dari kepolisian. Nah kalau ada oknum TNI-nya baru kita yang menangani,” dia menandasi.

Sedangkan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) akan menggelar Operasi Kepolisian Kewilayahan serentak mulai 1 Mei 2025. Operasi ini menyasar terhadap praktik premanisme yang dinilai semakin marak dan meresahkan masyarakat, serta berpotensi mengganggu stabilitas keamanan dan iklim investasi nasional.

Langkah ini tertuang dalam Surat Telegram Nomor: STR/1081/IV/OPS.1.3./2025, yang ditujukan kepada seluruh jajaran Polda dan Polres di Indonesia.

Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko mengatakan, operasi dilakukan dengan pendekatan penegakan hukum yang didukung kegiatan intelijen, pre-emtif, dan preventif.

Tak hanya itu saja, operasi ini juga merupakan komitmen Korps Bhayangkara dalam menjaga keamanan dan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.

“Polri berkomitmen memberantas aksi premanisme yang selama ini menjadi keresahan masyarakat dan berpotensi menghambat investasi. Operasi ini bertujuan menindak tegas pelaku dan mengungkap jaringan pelaku premanisme secara menyeluruh,” kata Trunoyudo dalam keterangannya, Selasa (6/5).

Ia menyebut, jenis kejahatan yang menjadi fokus penindakan mencakup pemerasan, pungutan liar, pengancaman, intimidasi, pengeroyokan, hingga penganiayaan yang dilakukan oleh individu maupun kelompok.

“Premanisme dalam bentuk apa pun yang mengganggu ketertiban masyarakat dan iklim usaha akan ditindak tegas. Ini adalah bagian dari upaya menciptakan rasa aman dan kepastian hukum, terutama bagi para pelaku usaha di Indonesia,” sebutnya.

Dalam kegiatan ini, Polri juga akan menjalin sinergi dengan TNI, pemerintah daerah, dan para pemangku kepentingan terkait dalam pelaksanaan operasi ini.

Koordinasi lintas sektor dinilai krusial untuk menjamin keberhasilan operasi dan menciptakan stabilitas jangka panjang.

 

4 dari 5 halaman

Wujudkan Stabilitas Keamanan

Menko Polkam Jenderal (Purn) Budi Gunawan menjelaskan, pembentukan satuan tugas dilakukan untuk mewujudkan stabilitas keamanan dan kepastian hukum guna menjamin jalannya investasi dan usaha. Hal ini sesuai arahan Presiden Prabowo Subianto, negara tidak akan tinggal diam terhadap berbagai bentuk tindakan yang mengancam ketertiban umum dan kestabilan sosial.

“Pemerintah tidak akan ragu-ragu dalam menindak tegas segala bentuk premanisme dan aktivitas ormas yang meresahkan masyarakat dan berpotensi mengganggu jalannya investasi maupun kegiatan usaha,” tegas Budi.

Budi memastikan, kehadiran negara harus dirasakan nyata oleh masyarakat, khususnya dalam memberikan rasa aman, menjamin kebebasan beraktivitas, dan menjaga iklim usaha yang sehat dan kompetitif.

“Pemerintah memiliki tanggung jawab konstitusional untuk memastikan bahwa ruang publik tidak dikuasai oleh intimidasi, kekerasan, atau pemaksaan oleh kelompok-kelompok tertentu,” jelas dia.

“Langkah ini sejalan dengan agenda strategis nasional dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi investasi, baik domestik maupun asing, sebagai bagian dari percepatan pertumbuhan ekonomi nasional,” imbuhnya.

Eks Kepala BIN ini menyatakan, pemerintah sadar tanpa stabilitas keamanan dan kepastian hukum, kepercayaan investor akan terus tergerus. Sebab, stabilitas keamanan adalah fondasi utama dari pembangunan dan kemajuan ekonomi.

“Setiap tindakan yang mengancam ketertiban umum dan rasa aman masyarakat harus segera ditangani secara terukur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” kata dia.

Budi juga meminta masyarakat untuk melapor jika menemukan aksi premanisme berkedok organisasi masyarakat atau ormas yang melakukan tindak kriminal seperti pungutan liar atau pemerasan.

“Masyarakat diimbau untuk tidak segan melaporkan jika menemukan aktivitas mencurigakan, pemerasan, pungutan liar, atau bentuk intimidasi lain yang dilakukan oleh oknum maupun kelompok tertentu,” kata Budi.

Ia menegaskan, pemerintah tidak akan memberi toleransi terhadap ormas yang bertindak di luar batas hukum, memaksakan kehendak dengan kekerasan, atau merusak tatanan sosial.

“Negara akan hadir secara nyata untuk melindungi warganya dan menjaga marwah hukum,” tegas Eks Kepala BIN ini.

Budi memastikan, pemerintah ingin menjamin rasa aman kepada warganya termasuk kepada para pelaku usaha agar merasa terlindungi. Sehingga Indonesia menjadi tempat yang nyaman bagi investasi dan pertumbuhan ekonomi.

“Dengan kebijakan tegas ini, pemerintah berharap akan tercipta ruang publik yang bersih dari tindakan premanisme, terbebas dari dominasi kelompok kekerasan serta memberikan rasa keadilan dan keamanan yang merata bagi seluruh warga negara,” dia menandasi.

5 dari 5 halaman

Infografis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *