![[Bintang] 17 tahun reformasi pada 20 Mei](https://cdn1-production-images-kly.akamaized.net/jlhysDxEMJy4YuRJtx-dj6Qrwuo=/640x360/smart/filters:quality(75):strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/880733/original/79a523350c63bcb8e26880f82a8983fftasterkininews.jpg)
Liputan6.com, Jakarta Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis hasil survei terkait Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Salah satu yang diukur adalah kondisi penegakan hukum di Tanah Air.
Peneliti LSI Yoes C Kenawas menyampaikan sebanyak 35 persen responden menilai penegakan hukum di Indonesia sudah baik. Angka tersebut berkejaran dengan publik yang menganggap penegakan hukum masih seimbang antara baik dan buruknya.
“35 persen menyatakan sangat baik dan baik, hampir berimbang sebenarnya, karena 33,8 persen ini menyatakan buruk atau sangat buruk. Yang 27 persen lainnya itu menyatakan sedang, sedang ini kan kita sebenarnya nggak tahu juga nih dia mau bilang baik atau sangat baik atau sangat buruk. Kalau paket konservatifnya mungkin sedang ini boleh dibilang yang memuaskan mengarah ke buruk,” tutur Yoes dalam paparan rilis survei di kawasan Jalan Bangka Raya, Mampang, JakartaSelatan, Minggu (13/4/2025).
Hasil survei tersebut, menurutnya, harus menjadi peringatan untuk seluruh lembaga penegak hukum, baik Polri, kejaksaan, hingga pengadilan.
“Bahwa masyarakat melihat penegakan kondisi hukum hari ini meski 35 persen menyatakan baik, tapi ada 33,8 persen yang menyatakan buruk, 27,1 bilang biasa saja, sedang, dan ini harus jadi perhatian semua, seluruh aparat penegak hukum,” jelas dia.
LSI melakukan survei tentang RUU KUHAP pada 22-26 Maret 2025 dengan target populasi survei adalah Warga Negara Indonesia yang berusia 17 tahun ke atas atau sudah menikah dan memiliki telepon atau telepon selular.
Sampel yang digunakan sebanyak 1.214 responden yang dipilih melalui metode Double Sampling. DS adalah pengambilan sampel secara acak dari kumpulan data hasil survei tatap muka LSI yang dilakukan sebelumnya.
Margin of error dalam survei ini diperkirakan kurang lebih 2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen dan asumsi simple random sampling. Wawancara dengan responden dilakukan lewat telepon oleh pewawancara yang dilatih.
Istilah ‘No Viral No Justice’ bermunculan di media sosial sebagai bentuk kekecewaan warga terhadap pelayanan Kepolisian. Hal ini membuat Kapolri meminta jajarannya untuk berbenah diri agar membentuk langkah yang lebih cepat.
Survei LSI Soal RUU KUHAP: 86 Persen Publik Nilai Perlu Saluran Lain untuk Laporan Mandek
… Selengkapnya
Hasil survei LSI juga menunjukkan, 86 persen publik menilai perlu adanya saluran lain untuk mengadu jika pelaporan kepada lembaga penegak hukum tidak kunjung mendapatkan kejelasan.
“Kita meminta para responden untuk membayangkan apabila responden ada dalam situasi di mana mereka menjadi korban tindak kejahatan, kemudian mereka membuat laporan atau pengaduan kepada aparat penegak hukum namun laporan tersebut tidak terdapat kejelasan dalam waktu 14 hari setelah laporan diterima, perlu nggak sih ada saluran lain untuk menindaklanjuti laporan tersebut,” tutur Peneliti LSI Yoes C Kenawas dalam paparan rilis survei di kawasan Jalan Bangka Raya, Mampang, Jakarta Selatan, Minggu (13/4/2025).
“Dan 86 persen itu menyatakan, mayoritas menyatakan bahwa perlu ada saluran lain untuk menindaklanjuti laporan atau pengaduan jika mereka membuat suatu laporan atau tindak kejahatan tapi nggak diproses,” sambungnya.
Yoes menilai, kondisi laporan mandek banyak dijumpai di masyarakat, bahwa laporan berujung ketidakjelasan dan membuat bingung masyarakat harus mengadu ke mana lagi.
“Mungkin ada Ombudsman atau saluran lain, permasalahannya kan itu kalau nggak viral nggak itu kan. Dan sebisa mungkin ya jangan banget medsos saja gitu kan, jangan sampai keadilan itu didapatkan no viral no justice, itu kan yang sering. Harus ada mekanisme atau saluran di mana mereka bisa mengadukan kalau laporan mereka tidak ditindaklanjuti dalam waktu 14 hari ini,” kata Yoes.
Infografis
… Selengkapnya